Saturday, October 20, 2012

Kiamat hati.


Kiamatku pernah sekali datang. Langit-langit terbelah. Ombak laut yang dahulu menggelayut manja, kini ganas mendidih. Gugusan bintang yang kita tunjuk sebatas ukuran butiran gula, hari ini ia jatuh. Ia merobek seluruh lapisan langit-langit, tanpa permisi, bahkan satu kedip matamu tak cukup cepat dengan kecepatannya. Lantas masihkah ada yang sempat membuat satu harapan ketika bintang-bintang ini jatuh? Pada saat itu, tiada waktu untuk berpikir waras.

Harap tenang. Ini bukan ajaran sesat. Beri aku sedikit waktu untuk menjelaskan. Ini kiamat hati. Langit-langit yang terbelah adalah langit hati. Tanggal kepergianmu aku tetapkan sebagai tanggal terjadinya kiamat hati. Abaikan saja dengan perhitungan suku Maya, karena kepergianmu pun tidak pernah sekalipun aku prediksi. Sebab aku sedang asyik menyelam dalam ekspektasi, dan padamu aku sedang berdedikasi. Mana sempat?

Matahari adalah bintang. Bintang adalah matahari. Kamu satu kali menjadi matahari. Kamu hanya menyinari, bukan ikut berputar bersamaku. Suatu hari kamu enggan terbit, dan ketika muncul kamu terbit dari barat. Seketika kamu menghantam keras, memporak-porandakan seluruh isi hati. Aku yang sedang menyelam tiada berkutik. Aku, ya, aku yang sedang asyik menyelam dalam lautan ekspektasi. Yang airnya kini ganas mendidih. Tubuhku seakan merontok, akupun tidak mampu untuk keluar dari lautan ini. Yang aku mampu hanya menenggelamkan diri. Jatuh ke dasar lautan pun tak cukup, kamu mau aku jatuh ke dalam palung laut yang terdalam.






Masih cinta?






Berani-beraninya kamu bertanya.
Bahkan Tuhan pun tidak menyuruhku untuk mencintai kiamat!





Bogor, 20 Oktober 2012
05.29 pagi
Adzkia Andriani.

No comments:

Post a Comment