Friday, November 2, 2012

Kedai Kopi


Hari ini aku kembali bertemu dengannya. Di kedai kopi tengah kota, tempat aku bekerja. Aku menduga tempat ini telah menjadi sarang kedua setelah rumahnya sendiri. Ia selalu datang setiap hari dan berlama-lama disini. Apalagi ketika turun hujan, ia bisa seharian. Ada dua dugaanku dalam kasus ini, ia sedang menikmati suasana hujan dari atau memang berteduh dari hujan.

Aku fasih memberimu jawaban jika kamu bertanya dimana ia duduk. Ia selalu duduk di pojok kanan dekat jendela. Jendela yang engselnya berderik jika bergerak. Entah itu mengganggunya atau tidak, yang aku tahu ia terlalu fokus dengan bolpoin dan buku yang ditulisinya, atau kadang ia membawa laptop. Ketika ia membuka laptop-nya aku tahu apa yang akan ia lakukan selanjutnya; mengeluarkan terminal listrik dan meminta tolong padaku untuk menghubungkannya dengan stop kontak di dekat meja kasir.

Aku juga fasih menjawab tentang kopi pesanannya. Vanilla latte dengan dua kali ekstra susu. Aku ragu masih menyebut itu kopi, lebih tepat kalau disebut dengan susu ditambah sepercik kopi. Pernah satu kali aku terlibat pembicaraan dengannya. Saat kedai baru saja tutup, ia menggedor pintu dengan muka kebakaran jenggot. Beruntunglah wanita tidak punya jenggot.. Aku tak perlu repot mengguyurnya untuk memadamkan api di jenggotnya. Ternyata ia ingin membeli secangkir vanilla latte dengan dua kali ekstra susu. Kubilang kedai sudah tutup, tapi ia memaksa untuk membeli. Dan aku mengabulkannya.

Aku bertanya tentang kopi--atau lebih tepatnya susu dengan sepercik espresso-- yang  ia pesan setiap datang kemari. "Aku tidak suka kopi." Katanya. Aku heran, baru pernah aku bertemu manusia yang tidak suka kopi menjadikan kedai kopi sebagai sarangnya. Aneh. Dan penasaranku tentang susu dengan sepercik kopi pun setengah terjawab.

Layaknya seperti burung yang diajak bersiul. Aku bersiul, mereka berkicau panjang. Begitupun ia, sedikit pertanyaanku membuat ia berkicau panjang tiada henti. Ia bercerita tentang lengangnya kedai ini. Bahasa halusnya sepi, dan ini membuatmu senang. Seandainya kamu tahu sedang tertawa di atas penderitaan orang lain. Hal ini yang membuat bosku kelabakan, dan aku hampir dipecat. Gara-gara sepinya tempat ini yang kau senangi.

Obrolan kita menganak sungai setiap harinya.
Hingga suatu hari aku fasih satu lagi menyangkut denganmu.
Aku fasih berkata jatuh hati...,
padamu.

No comments:

Post a Comment