Tuesday, December 18, 2012

Sarapan Kenangan.


Selamat pagi, untuk semesta, dan kamu yang pernah sekali menjadi semesta bagiku.
Aku masih ingin bermanja-manja dengan kasur tidurku, namun matahari pagi tidak begitu menyetujui. Cahayanya menerobos jendela kamar dan sampai ke kelopak mataku. Ia membuka paksa kelopak mataku, sungguh menyebalkan. Aku terduduk di pinggiran tempat tidurku. Linglung. Rasanya seperti telah mengalami masa tidur yang panjang, lebih dari 14 jam. Aku terkesiap, ketika aku bangun, apa yang aku ingat pertama kali adalah kau. Padahal kamu, yang pernah sekali menjadi semestaku, sudah berhenti berotasi sejak lama. Daya gravitasimu melemah, dan tiada mampu menarik aku untuk kembali.

Tapi hari ini berbeda, aku bangun dan disodorkan sarapan kenangan. Pertama kali aku melihatnya, aku takut-takut menyentuhnya. Aku kira sarapan itu terdiri dari pecahan beling-beling, yang setiap serpihan kecilnya dapat melukaiku. Tapi aku bukan kuda lumping, aku disodorkan sarapan yang masih dalam batas wajar dan manusiawi.

Aku melihat sekilas, lalu menyambar roti yang masih hangat. Masih terlihat setipis asap-asap mengepul pertanda roti itu baru diangkat dari panggangan. Aku mencubit kecil bagian roti itu. Rasanya manis, dan menerbitkan air liur. Itu adalah roti manis isi bahagia. Aku ingin memakannya lagi dan lagi. Seperti tercampur zat adiktif, tapi ini murni baik untuk tubuh. Lama kelamaan tenggorokanku terasa mengering dan aku pusing karena roti itu terlalu manis. Aku pun mengambil secangkir kopi hitam. Aku mencari-cari bongkahan gula, tapi tidak ada sama sekali. Akhirnya aku menyeruput kopi itu sedikit-sedikit. Ingin aku semburkan jauh-jauh kopi itu, rasanya pahit sekali. Aku tidak suka, mengapa Tuhan menciptakan minuman pahit seperti ini? Apa enaknya? Aku mencari-cari creamer atau susu, gula, apapun yang bisa memberi rasa yang lebih baik untuk kopi itu, tapi aku tidak menemukan apapun. Selain roti manis isi bahagia. Ideku muncul untuk mencelupkan roti ke dalam kopi tersebut... dan rasanya agak aneh, dan sedikit enak.

Rotiku habis. Dan cangkirku masih terisi setengah. Sekarang aku menyesap kopi itu sedikit demi sedikit. Awalnya memang pahit, namun aku berusaha menikmatinya. Lama-lama aku bisa menikmatinya; entah sihir apa yang membuat rasa pahit kopi ini memberikan kenikmatan. Frekuensi sesapanku semakin jarang, semakin perlahan. Aku masih ingin menikmatinya lebih lama lagi.

Dengan kelingking yang diangkat sambil memegang cangkir ala bangsawan, aku bertanya-tanya. Mengapa ada kopi pahit? Roti manis isi bahagia? Aku kembali menyesap kopiku. Aku berpikir dan berpikir, dan akhirnya aku menjawab sendiri. 

Rasa pahit ada, karena rasa manis juga ada. Rasa manis tidak akan terasa jika tidak ada rasa pahit. Karena semuanya akan terasa sama di lidah. Ada kalanya aku bisa menikmati rasa manis sepuas-puasnya, namun, lama kelamaan aku merasa jenuh dengan glukosa-glukosa tersebut. Bahagia selamanya belum tentu semenyenangkan yang dikira. Lalu aku mencoba menyesap kopi, dan seketika semuanya berbeda. Semua yang manis menjadi pahit. Lama-lama aku menikmatinya dan ingin menikmatinya lebih lama lagi. Lantas aku tahu siapa yang membiarkan diriku sendiri dalam kepahitan itu. Siapa yang menikmati kepahitan itu. Semua itu adalah diriku sendiri. Dan harus aku sendiri yang mengakhiri pahit itu. Mengapa harus ada kenangan pahit? Mengapa ada kenangan manis? Hidup terasa lebih hidup ketika aku merasakan kompleksitas alur hidup. Alur hidup telah direncanakan sedemikian rupa hingga menjadi takaran yang ideal, seimbang. Agar masing-masing penghuni jagat raya ini memiliki nilai. Begitu pula dengan kenangan-kenangan, meskipun ia hanya sekelebat bayangan yang wujudnya tak dapat disentuh, ia masih memiliki nilai. Dari kenangan yang buruk, aku bisa menilai kenangan yang baik menjadi lebih berharga. Setelah aku menyesap kopi yang pahit, lalu memakan roti manis untuk menghilangkan rasa pahit itu.... 

Bukankah terasa lebih nikmat?


No comments:

Post a Comment