Wednesday, December 15, 2010

"Petrichor" -2

Ada beberapa orang yang datang, yang bersamaan dengan aroma petrichor. Aku hari ini bertemu dengan lelaki itu lagi. Ya, kau tahu siapa. Seseorang yang takut akan hujan. Hari ini hujan, namun entah kemana aroma petrichor itu pergi. Aku selalu bingung harus berbicara apa. Lidah ini terasa kelu.

Seperti kataku tadi, ada beberapa orang yang datang bersamaan dengan aroma petrichor. Aku bertemu dengan Adrasthea, ini sebenarnya nama salah satu satelit Jupiter yang aku suka. Bisa di bilang, dia adalah orang yang tidak aku hargai perasaannya. Namun, dia tak pernah marah ataupun menuntut apapun dariku, dia tetap mau menyapaku.

Hari ini Adrasthea mengajakku pulang bersama, teman-temanku sudah pulang. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang bareng, aku malas kalau harus pulang sendiri. Seperti biasa, kami naik Transpakuan. Dia memintaku untuk membantunya mengerjakan tugas akhir, akhirnya aku setuju untuk membantunya.

Adras mengenalkanku dengan ibunya, aku merasa sedikit malu. Lalu untungnya aku juga di kenalkan dengan adiknya yang lucu, nervous ku hilang seketika. Lalu Adras mengerjakan tugas-tugasnya di lantai atas. Lantainya terbuat dari kayu, aku suka. Dalam beberapa saat, aku menemukan tempat favoritku disana. Tempat favoritku adalah balkonnya, kau bisa melihat matahari yang terhunus langit disana, meskipun sedikit terhalang oleh rumah-rumah sekitar. Tapi aku suka. Kau tahu? Akhir-akhir ini angin menerubus begitu kencang. Daun yang telah di sapu oleh penjaga kebersihan, berserakan kembali. Lalu hujan pun turun saat itu juga.

Petrichor itu datang lagi.

Aku menengok ke belakang dan melihat Adras yang sedang mengerjakan tugasnya. Dia orang yang mau berusaha, pikirku. Adras menatapku heran, "Kamu kenapa?" tanyanya. Lalu ia bangkit dari tempat duduknya.

"Kamu harus tahu ini," kataku terputus. Aku membuka jendelanya.
harum petrichor semerbak masuk ke dalam ruangan ini.

"Ini namanya Petrichor, aroma khas yang timbul ketika hujan turun." Lanjutku. Ia hanya tersenyum, jujur saja, aku tak mengerti apa maksud senyumnya, tapi, aku luluh.

Sepulangnya, aku membuka handphoneku. Ternyata ada sekitar 13 SMS yang belum ku baca dan 6 miss call. Tumben. Ternyata dari lelaki yang benci hujan itu, sebut saja Ar. Aku balik meneleponnya, dia mengangkatnya dan kita mengobrol sebentar. Dia menyuruhku untuk online malam ini.

Saat online, aku melihat Ar sedang berbincang dengan perempuan yang ia ceritakan tempo hari yang lalu di beberapa jejaring sosial. Oh ya, aku tahu apa perasaan Ar terhadapnya. Suka. Aku tahu aku tak punya hak untu marah. Aku tahu. Lalu aku berusaha untuk mengalihkan perhatianku dengan mengupdate perbincangan lain bersama teman-teman dunia maya ku. Ar tidak peka, bahwa sikapnya itu membuatku kesal. Aku bingung dengan apa yang aku pikirkan, tapi yang ada di pikiranku "Aku ingin di hargai, Ar!" aku bingung harus bicara apa dengannya. Lalu akhirnya aku memutuskan bercerita tentang hari ini, mungkin, aku mengatakan kata yang salah. Ar marah. Tapi aku masih bingung apa yang Ar permasalahkan, dia tak mau dengar penjelasanku.

Kecewa? Ya.
Ternyata Ar tidak seperti yang aku bayangkan.

Sekelebat aku teringat Adras, aku teringat sikapku padanya. Tidak menghargai. Sementara ia tetap SMS memperhatikanku, memastikan keadaanku meskipun ia sedang sibuk. Ia menyempatkannya. Aku jadi teringat kata-kata ibuku untuk menghargai orang-orang yang ada untuk kita, yang berada di sekitar kita. Aku terenyuh.



kau harus tau,
Aku menghargaimu, Dras.
Aku menilaimu sebagai salah satu memori Petrichor indahku.


"Terima kasih, dras" bisikku ke diriku sendiri

No comments:

Post a Comment